Senin, 03 Januari 2011

TABARRUK (MENGGAPAI BERKAH)

Di dalam Islam dibolehkan tabarruk (menggapai berkah) dengan bekas orang-orang saleh. Seorang bijak menyebutkan bahwa hikmah tabaruk dengan bekas orang-orang saleh dan tempat-tempat mereka serta apa-apa yang berhubungan dengan mereka adalah lantaran tempat-tempat mereka berkaitan dengan pakaian mereka, pakaian mereka mencakup badan mereka, badan mereka mencakup hati mereka, dan hati mereka berada dalam kehadiran Tuhan mereka.
Jika Allah melimpahkan berbagai curahan anugerah ketuhanan ke dalam hati mereka, maka keberkahannya menjalar kepada apa-apa yang berkaitan dengannya dan dalam firman Allah SWT, "Samiri berkata 'lalu aku mengambil segenggam dari bekas utusan itu.' (Thaha, 20: 4) Maksudnya dari bekas telapak kaki kuda utusan itu (malaikat) sebagaimana yang dipaparkan dalam sejumlah tafsir. Dalil-dalil tabarruk cukup banyak Di antaranya adalah tabarruk yang dilakukan oleh para sahabat ra dan penggapaian syafaat mereka melalui peninggalan-peninggalan Nabi saw pada saat beliau masih hidup dan setelah beliau wafat. Terkait hal ini terdapat banyak hadis yang kami paparkan sebagiannya secara ringkas sebagai berikut:
Dari Sahl bin Sa'ad ra mengenai kisah pakaian burdah yang dimintanya dari Nabi saw. Saat itu sahabat-sahabatnya mengecamnya, lantaran meminta pakaian burdah tersebut kepada Nabi saw padahal beliau masih memakainya. sahl bin sa'ad ra mengatakan: 'Aku memintanya kepada beliau hanya agar dijadikan sebagai kafanku.' Dalam riwayat lain: 'Aku berharap keberkahannya karena Nabi saw telah mengenakannya, semoga aku dapat dikafani dengannya.' (HR Bukhari)

SYAFA'AT

Syafaat adalah doa pemberi syafaat bagi orang yang diberi syafaat, lantas Allah memperkenankannya lantaran anugerah-Nya bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Tentunya syafaat yang demikian adalah dibolehkan sebagaimana firman-Nya:

Dan mereka tidak memberi syafaat (laa yasy-fi'uuna) melainkan kepada orang yang diridhoi (allah), dan mereka selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya." (Al-Anbiya, 21: 28)

Dan firman-Nya:
Dan betapa banyak malaikat di langit, syafaat mereka sedikit pun tidak berguna kecuali apabila Allah telah mengizinkan (dan hanya) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Dia ridhoi." (An-najm, 53: 26)

Adapun syafaat yang digugurkan oleh Al-Quran adalah syafaat yang mengandung kesyirikan yang diyakini oleh kaum musyrikin pada tuhan-tuhan mereka. Yaitu syafaat yang tidak diizinkan dan tidak diridhoi oleh Allah SWT. Mereka berpandangan bahwa syafaat tuhan-tuhan mereka diterima dan tidak ditolak serta tidak tergantung pada izin Allah SWT.
Adapun syafaat dengan izin Allah SWT dari hamba-hamba-Nya yang terpilih dan memiliki keutamaan bagi orang-orang yang durhaka namun mereka tetap mengesakan Allah, maka syafaat ini tidaklah dilarang dan meyakini adanya termasuk ajaran agama. Sebab, syafaat ini termasuk doa, sementara Allah SWT memperkenankan doa orang-orang yang beriman dan beramal shaleh serta melimpahkan tambahan karunia-Nya kepada mereka.

Sumer:

Seribu Satu Jawaban masalah-maslah Aqidah Islam (terjemahan kitab Ajwibatul Gholiyah), Al-Allamah Al-Faqih Zein bin Ibrahim bin Sumaith, penerjemah Muhammad Ahmad Vadaq, Jakarta,2009)

CIRI-CIRI GOLONGAN AHLI BID'AH

Rasulullah saw telah mendeskripsikan sifat para ahli bid'ah kepada kita bahwa ayat-ayat yang di turunkan pada orang-orang musyrik justru mereka tujukan dan arahkan kepada orang-orang mukmin, seperti firman Allah:

Maka janganlah kamu menyeru (menyembah) Tuhan lain di samping (menyembah) Allah. (Qs Asy-Syuraa: 213)
Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah Allah (Al-Jinn: 18)
Sesungguhnya berhala-hala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu."(Al-A'raf: 194)
dan ayat-ayat lain sejenis yang jelas ditujukan kepada o0rang-orang musyrik yang meyakini ketuhanan selain Allah dan kewajiban menyembahnya.
Para ulama berkata: "Perkataan mereka ini semuanya adalah pengelabuan dalam agama dan penyesatan terhadap golongan awam kaum muslimin. Sebab sama sekali tak seorang pun dari orang-orang mukmin yang bertauhid meyakini keyakinan ini, lalu bagaimana bisa mereka menjadikan orang-orang mukmin sama dengan orang-orang musyrik itu? subhanallah! ini adalah fitnah yang besar."
Para ulama telah menyebutkan bahwa kelompok-kelompok yang menyimpang itu tidak memiliki kaedah-kaedah sandaran maupun sedikit madzhab pegangan. Kebanyakan mereka hanyalah para pelajar bodoh yang termasuk kategori awam. mereka bukanlah termasuk orang-orang yang berkompeten dan bukan termasuk ulama Islam.
Untuk membantah para ahli bid'ah itu, tampillah sekelompok ulama sejati yang menasehati karena Allah, rasul-Nya dan hamba-hamba-Nya yang mukmin. Mereka menjelaskan hal ihwal dan kesesatan mereka kepada orang-orang, dan mereka telah menyusun banyak kitab mengenai hal tersebut.

Sumber:

SERIBU SATU JAWABAN, Masalah-Masalah Aqidah Islam, Al-Allamah Al-Faqih Zein bin Sumaith, Penerjemah: Muhammad Ahmad Vadaq, Jakarta, 2009

HADIS DHO'IF

Hadits Dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif merupakan hal yang diperbolehkan oleh para Ulama Muhadditsin, Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak sepantasnya kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak pembagiannya, Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan berlandaskan dengan hadits dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan hukum thaharah. Hadits dhoif ini banyak pembagiannya, sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi 81 bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya dalam 42 bagian, namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib, inilah pendapat yang mu’tamad, namun tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada hadits palsu. Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai hadits munkar, atau mardud, Batil, maka tidak sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan (menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur. Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.110),
Sabda beliau SAW pula : "sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.1229), Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti mereka melarang sebagian ucapan / sunnah Rasul saw, dan mendustakan ucapan Rasul saw.

Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa hukum hadits dan Ilmu hadits itu tak ada di zaman Rasulullah saw, ilmu hadits itu adalah Bid'ah hasanah, baru ada sejak Tabi'in, mereka membuat syarat perawi hadits, mereka membuat kategori periwayat yang hilang dan tak dikenal, namun mereka sangat berhati hati karena mereka mengerti hukum, bila mereka salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak ummat hingga akhir zaman dalam kekufuran, maka tak sembarang orang menjadi muhaddits, lain dengan mereka ini yang dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah saw. Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang mengaku ngaku sebagai pakar hadits, seorang ahli hadits mestilah telah mencapai derajat Alhafidh, alhafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100 ribu hadits berikut hukum sanad dan matannya, sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum matannya, lalu bagaimana dengan yang hafal 100 ribu hadits?.

Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang disebut Alhujjah, yaitu yang hafal 300 ribu hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang disebut : Hakim, yaitu yang pakar hadits yang sudah melewati derajat Ahafidh dan Alhujjah, dan mereka memahami banyak lagi hadits hadits yang teriwayatkan. (Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Atsqalaniy).

Diatasnya lagi adalah derajat Imam, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal 1 juta hadits dengan sanad dan matannya, dan Ia adalah murid dari Imam Syafii rahimahullah, dan dizaman itu terdapat ratusan Imam imam pakar hadits.

Perlu diketahui bahwa Imam Syafii ini lahir jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafii lahir pada th 150 Hijriyah dan wafat pada th 204 Hijriyah, sedangkan Imam Bukhari lahir pada th 194 Hijriyah dan wafat pada 256 Hijriyah, maka sebagaimana sebagian kelompok banyak yang meremehkan Imam syafii, dan menjatuhkan fatwa fatwa Imam syafii dengan berdalilkan shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam Syafii sudah menjadi Imam sebelum usianya mencapai 40 tahun, maka ia telah menjadi Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia. Lalu bagaimana dengan saudara saudara kita masa kini yang mengeluarkan fatwa dan pendapat kepada hadits hadits yang diriwayatkan oleh para Imam ini?, mereka menusuk fatwa Imam Syafii, menyalahkan hadits riwayat Imam Imam lainnya, seorang periwayat mengatakan hadits ini dhoif, maka muncul mereka ini memberi fatwa bahwa hadits itu munkar, darimanakah ilmu mereka?, apa yang mereka fahami dari ilmu hadits?, hanya menukil nukil dari beberapa buku saja lalu mereka sudah berani berfatwa, apalagi bila mereka yang hanya menukil dari buku buku terjemah, memang boleh boleh saja dijadikan tambahan pengetahuan, namun buku terjemah ini sangat dhoif bila untuk dijadikan dalil.

Saudara saudaraku yang kumuliakan, kita tak bisa berfatwa dengan buku buku, karena buku tak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan fatwa para Imam terdahulu, bukanlah berarti kita tak boleh membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yang ada zaman sekarang ini adalah pedoman paling lemah dibandingkan dengan fatwa fatwa Imam Imam terdahulu, terlebih lagi apabila yang dijadikan rujukan untuk merubuhkan fatwa para imam adalah buku terjemahan. Sungguh buku buku terjemahan itu telah terperangkap dengan pemahaman si penerjemah, maka bila kita bicara misalnya terjemahan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ini hafal 1 juta hadits, lalu berapa luas pemahaman si penerjemah yang ingin menerjemahkan keluasan ilmu Imam Ahmad

dalam terjemahannya? Bagaimana tidak, sungguh sudah sangat banyak hadits hadits yang sirna masa kini, bila kita melihat satu contoh kecil saja, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1 juta hadits, lalu kemana hadits hadits itu?, Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad haditsnya hanya tertuliskan hingga hadits no.27.688, maka kira kira 970 ribu hadits yang dihafalnya itu tak sempat ditulis…! Lalu bagaimana dengan ratusan Imam dan Huffadh lainnya?, lalu logika kita, berapa juta hadits yang sirna dan tak sempat tertuliskan?, mengapa?

Tentunya dimasa itu tak semudah sekarang, kitab mereka itu ditulis tangan, bayangkan saja seorang Imam besar yang menghadapi ribuan murid2nya, menghadapi ratusan pertanyaan setiap harinya, banyak beribadah dimalam hari, harus pula menyempatkan waktu menulis hadits dengan pena bulu ayam dengan tinta cair ditengah redupnya cahaya lilin atau lentera, atau hadits hadits itu ditulis oleh murid2nya dengan mungkin 10 hadits yang ia dengar hanya hafal 1 atau 2 hadits saja karena setiap hadits menjadi sangat panjang bila dengan riwayat sanad, hukum sanad, dan mustanadnya. Bayangkan betapa sulitnya perluasan ilmu saat itu, mereka tak ada surat kabar, tak ada telepon, tak ada internet, bahkan barangkali pos jasa surat pun belum ada, tak ada pula percetakan buku, fotocopy atau buku yang diperjualbelikan. Penyebaran ilmu dimasa itu adalah dengan ucapan dari guru kepada muridnya (talaqqiy), dan saat itu buku hanyalah 1% saja atau kurang dibanding ilmu yang ada pada mereka. Lalu murid mereka mungkin tak mampu menghafal hadits seperti gurunya, namun paling tidak ia melihat tingkah laku gurunya, dan mereka itu adalah kaum shalihin, suci dari kejahatan syariah, karena di masa itu seorang yang menyeleweng dari syariah akan segera diketahui karena banyaknya ulama. Oleh sebab itu sanad guru jauh lebih kuat daripada pedoman buku, karena guru itu berjumpa dengan gurunya, melihat gurunya, menyaksikan ibadahnya, sebagaimana ibadah yang tertulis di buku, mereka tak hanya membaca, tapi melihat langsung dari gurunya, maka selayaknya kita tidak berguru kepada sembarang guru, kita mesti selektif dalam mencari guru, karena bila gurumu salah maka ibadahmu salah pula. Maka hendaknya kita memilih guru yang mempunyai sanad silsilah guru, yaitu ia mempunyai riwayat guru guru yang bersambung hingga Rasul saw.

Hingga kini kita ahlussunnah waljamaah lebih berpegang kepada silsilah guru daripada buku buku, walaupun kita masih merujuk pada buku dan kitab, namun kita tak berpedoman penuh pada buku semata, kita berpedoman kepada guru guru yang bersambung sanadnya kepada Nabi saw, ataupun kita berpegang pada buku yang penulisnya mempunyai sanad guru hingga nabi saw. Maka bila misalnya kita menemukan ucapan Imam Syafii, dan Imam Syafii tak sebutkan dalilnya, apakah kita mendustakannya?, cukuplah sosok Imam Syafii yang demikian mulia dan tinggi pemahaman ilmu syariahnya, lalu ucapan fatwa fatwanya itu diteliti dan dilewati oleh ratusan murid2nya dan ratusan Imam sesudah beliau, maka itu sebagai dalil atas jawabannya bahwa ia mustahil mengada ada dan membuat buat hukum semaunya.

Maka muncullah dimasa kini pendapat pendapat dari beberapa saudara kita yang membaca satu dua buku, lalu berfatwa bahwa ucapan Imam Syafii Dhoif, ucapan Imam hakim dhoif, hadits ini munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil, hadits itu mardud, atau berfatwa dengan semaunya dan fatwa fatwa mereka itu tak ada para Imam dan Muhaddits yang menelusurinya sebagaimana Imam imam terdahulu yang bila fatwanya salah maka sudah diluruskan oleh imam imam berikutnya. Sebagaimana berkata Imam Syafii : “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu baker digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433), berkata pula Imam Atsauri : “Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”, berkata pula Imam Ibnul Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433)

Semakin dangkal ilmu seseorang, maka tentunya ia semakin mudah berfatwa dan menghukumi, semakin ahli dan tingginya ilmu seseorang, maka semakin ia berhati hati dalam berfatwa dan tidak ceroboh dalam menghukumi. Maka fahamlah kita, bahwa mereka mereka yang segera menafikan / menghapus hadits dhoif maka mereka itulah yang dangkal pemahaman haditsnya, mereka tak tahu mana hadits dhoif yang palsu dan mana hadits dhoif yang masih tsiqah untuk diamalkan, contohnya hadits dhoif yang periwayatnya maqthu’ (terputus), maka dihukumi dhoif, tapi makna haditsnya misalnya keutamaan suatu amal, maka para Muhaddits akan melihat para perawinya, bila para perawinya orang orang yang shahih, tsiqah, apalagi ulama hadits, maka hadits itu diterima walau tetap dhoif, namun boleh diamalkan karena perawinya orang orang terpercaya, Cuma satu saja yang hilang, dan yang lainnya diakui kejujurannya, maka mustahil mereka dusta atas hadits Rasul saw, namun tetap dihukumi dhoif, dan masih banyak lagi contoh contoh lainnya, Masya Allah dari gelapnya kebodohan.. sebagaimana ucapan para ulama salaf : “dalam kebodohan itu adalah kematian sebelum kematian, dan tubuh mereka telah terkubur (oleh dosa dan kebodohan) sebelum dikuburkan”.

Walillahittaufiq

Sumber: Kenalilah-Akidahmu, Munzir Al-Musawa, www.majelisrasulullah.org

Minggu, 02 Januari 2011

BID'AH

Dalam kamus Al-Munjid disebutkan : Bid'ah adalah sesuatu yang diadakan tanpa adanya contoh terlebih dahulu.
Rasulullah saw telah bersabda mengenai bid'ah:
"Barangsiapa diberi hidayah oleh Allah, maka tiada siapa pun yang dapat menyesatkannya. dan barangsiapa disesatkan oleh Allah, maka tiada siapa pun dapat memberinya hidayah. Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah KItabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (hal-hal baru), dan semua mudats (yang baru) adalah bid'ah dan Kullu bid'atin Dholaalah (semua bid'ah adalah sesat) dan semua yang sesat tempatnya adalah di neraka." (HR Nasa'i)
"Berhati-hatilah kalian terhadap muhdats (hal-hal baru), karena sesungguhnya semua muhdats (yang baru) itu bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat." (HR Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah)
Para ulama menjelaskan bahwa dalam hadis Kullu bid'atin dholalah terdapat kalimat yang tidak diucapkan oleh Nabi saw, namun telah dipahami oleh para sahabat. Kalimat itu terletak setelah kata bid'ah dan bunyinya adalah "yang bertentangan dengan syariat" . Coba anda perhatikan kalimat yang terletak di dalam tanda kurung berikut: "Semua bid'ah (yang bertentangan dengan syariat) adlah sesat dan semua yang sesat tempatnya adalah di neraka." Para ulama menyimpulkan demikian berdsarkan sabda Rasulullah saw berikut:

"Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak." (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)
"Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak terdapat di dalam agama, maka ia tertolak." (HR Bukhori dan Abu Dawud)
Rasulullah saw dalam sabdanya di atas menambahkan kalimat, "Yang tidak bersumber dari agama," dan kalimat "Yang tidak terdapat dalam agama." Akan berbeda maknanya bila kalimat tersebut dihilangkan. Coba perhatikan:
"Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak."
Bandingkan dengan kalimat berikut:
"Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam maslaah (agama) kami ii, maka dia tertolak."
jika kita perhatikan dengan baik, kedua kalimat di atas sangat berbeda. Kalimat pertama memberitahukan bahwa hanya hal baru yang tidak bersumber dari agama saja yang ditolak sedangkan kalimat kedua menyatakan bahwa semua yang baru tertolak.
Kini jelaskah bahwa hanya hal-hal baru saja yang tidak bersumber dari agama sajalah yang sesat, dan selama hal baru tersebut bersuumber dari Al-Quran dan hadis maka dia dapat diterima oleh agama, diterima oleh Allah, dan diterima oleh Rasulullah saw.

KArena dalil-dalil di atas Imam Syafi'i berpendapat bahwa bidah terbagi menajdi dua, yaitu bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah sayyi'ah (buruk) atau bid'ah mahmudah (yang terpuji) dan bid'ah madzmumah (yang tercela). Rabi' ra menceritakan bahwa Imam Syafii rhm berkata:
'Hal-hal baru (muhdatsaat) itu ada dua. Pertama, hal baru yang bertentangan dengan Al_Quran, Sunah, Atsar maupun Ijma. Inilah bid'ah yang sesat. Kedua, segala hal baru yang baik dan tidak bertentangan dengan Al_Quran, Sunah, Atsar maupn Ijma'. Hal baru ini merupakan bid'ah yang tidak tercela.
Sedangkan Imam an-Nawawi ra beliau berkata: Para ulama menyatakan bahwa bid'ah itu terbagi menjadi lima, yaitu bid'ah wajib, bid'ah mandhub (sunah), bid'ah haram, bid'ah makruh, dan bid'ah mubah. Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil dalil pada ucapan ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yang Mubah adalah bermacam macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)

Dengan demikian, siapapun muslimin yang menggagas perbuatan baru yang baik dan tidak bertentangan dengan agama dan kemudian perbuatan tersebut diamalkan (orang lain), maka dia akan memperoleh pahala orang-orang yang mengamalkannya. Demikian juga seabliknya. Sebagaimana sabda beliau saw:

“Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan bahwa Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah,dan menjelaskan pula akan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.

Diantara yang mengawali perbuatan bid’ah hasanah adalah sayyidina Umar dan Khalifah Abubakar Ash-Shiddiq rhum. Berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra :“Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!” Berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768). Bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar shiddiq ra mengakui dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”, hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah ) yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah pisah di hafalan sahabat, ada yang tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll, ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.

Selain contoh di atas lalu kemudian Umar bin Khattab ra pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata : “Inilah sebaik baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits no.1906) lalu pula selesai penulisan Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu. Demikian pula hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali adzan di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasul saw, tidak dimasa Khalifah Abubakar shiddiq ra, tidak pula dimasa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan dimasa Utsman bin Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits no.873). Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dll inipun tak pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw. Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits, ini semua adalah perbuatan Bid’ah namun Bid’ah Hasanah.

Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun tak ada dalam Ayat atau hadits Rasul saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya, namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD kan, Program Al-Quran di handphone, Al-Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah. Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya Bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al-Quran dan tidak ada yang memungkirinya.

Demikian mudah-mudahan dapat dipahami dengan kejernihan hati.

Sumber:
  1. Mana Dalilnya I, Novel bin Muhammad Alaydrus, Taman Ilmu, Surakarta, 2005
  2. Kenalilah Akidahmu, Munzir Al-Musawa, www.majelisrasulullah.org

KAROMAH PARA WALI

Kita harus meyakini bahwa karomah para wali itu benar. Maksudnya, dibolehkan dan terjadi pada saat mereka hidup dan setelah mereka mati. Karomah itu bermuara pada kekuasaan Allah SWT dan kekuasaan-Nya layak untuk itu. Adapun dalil atas terjadinya karomah ada dua perkara:
Pertama, yaitu yang disampaikan oleh allah SWT dalam al-Quran Al-Aziz, seperti kisah Maryam. Allah SWT berfirman: Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab (kamar khusus ibadah), dia dapati makanan di sisinya. Dia berkata, "Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?" Dia (Maryam) menjawab, "Itu dari Allah." Sesungguhnya Allah memberi rezeki yang tak terhitung kepada siapa yang Dia kehendaki. (Ali Imran, 3: 37)
Para ahli tafsir mengatakan; saat itu di sisinya ada buah-buahan musim dingin pada musim panas, dan buah-buhan musim panas pada musim dingin. Itu sampai kepadanya melalui cara yang tidak biasa, dan itulah kemuliaan (karomah) yang dianugerahkan Allah SWT kepadanya.
Dalil lainnya adalah kisah para penghuni gua. Allah SWT menyebutkan kisah ini dalam kitab-Nya, bahwasanya mereka tidur selama tigaratus sembilan tahun tanpa menyantap makanan tidak pula minuman, dan bahwasanya Allah SWT yang mengatur sendiri dengan membalikkan mereka ke kanan dan ke kiri tanpa sebab apa pun, agar badan mereka tidak sakit. Saat matahari terbit dan terbenam, Allah menajdikannya tidak mengenai tempat keberadaan mereka untuk menjaga mereka dari panas matahari yang menyakiti mereka.
Di antara yang disebutkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran juga tentang karomah Khidir, karomah Dzul Qarnain dan karomahAshif bin Barkhiya yang memiliki ilmu dari kitab.
Kedua, yang diriwayatkan secara mutawatir tentang karomah para sahabat, generasi tabiin, dan orang-orang setelah mereka hingga sekarang ini, yang memenuhi berbagai penjuru, dan dibawa mengembara oleh para pengembara. Bukhari meriwayatkan dalam bukunya Ash-Shahiih bahwa sayyidina Khubaib makan buah yang ada bukan pada musimnya, yaitu saat dia menjadi tawanan di Mekah dengan kondisi terikat rantai besi, dan padahal Mekah pada saat itu tidak ada buah. Ini tidak lain meupakan rezeki yang dianugerahkan Allah kepadanya, dan ini merupakan karomahnya.
Bukhori juga meriwayatkan bahwa Sayidina Ashim bin Tsabit ra ketika terbunuh kaum musyrikin hendak mengambil sepotong dari jasadnya. Namun kemudian Allah mengutus kepadanya seperti naungan dari belakang, yaitu sekawanan lebah atau lalat kerbau, lalu melindunginya dari kaum musyrikin. Akhirnya mereka tidak mampu mengusiknya sama sekali. Ini merupakan karomah Ashim ra setelah dia wafat.
Dari Anas ra bahwasanya dia mengatakan : Usaid bin Hudhair dan Abbad bin Bisyr bersama Rasulullah saw pada malam gelap gulita. keduanya berbincang di tempat beliau hingga begitu keduanya keluar, tongkat salah seorang dari keduanya menyinari mereka berdua sehingga keduanya dapat berjalan di bawah pancaran sinarnya. Begitu keduanya berpisah jalan, tongkat masing-masing dari keduanya menyinarinya hingga dapat berjalan di bawah pancaran sinarnya.
Dan lain-lainnya dari karomah para sahabat rodhiyallahu anhum ajma'in.
Karomah para wali cukup banyak dan tak terhitung jumlahnya serta tidak mungkin dapat dipungkiri lantaran keseluruhannya diriwayatkan secara mutawatir. Di antara mereka ada yang masuk ke dalam kobaran api namun tidak berpengaruh kepadanya, di antara mereka ada yang melalui tangannya orang yang mati dapat hidup kembali, di antara mereka ada yang memiliki kekuatan fisik, di antara mereka ada yang berjalan di udara dan air, di antara mereka ada yang dipatuhi oleh jin, dan karomah lainnya yang diriwayatkan secara mutawatir secara pasti tanpa ada keraguan padanya tidak pula perlu diperdebatkan.